
Kebijakan Wajib BPJS Aktif untuk Pembuatan SKCK Dinilai Memberatkan Masyarakat
Kebijakan Wajib BPJS Aktif untuk Pembuatan SKCK Dinilai Memberatkan Masyarakat
Kebijakan terbaru yang mewajibkan kepesertaan BPJS Kesehatan aktif sebagai salah satu syarat pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) menuai banyak sorotan. Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak relevan dan justru mempersulit masyarakat, terutama bagi mereka yang tengah membutuhkan SKCK dalam situasi mendesak, seperti untuk melamar pekerjaan.
Pada dasarnya, tidak terdapat hubungan langsung antara kepesertaan BPJS Kesehatan dan penerbitan SKCK. SKCK merupakan dokumen yang menyatakan riwayat catatan kepolisian seseorang, sementara BPJS Kesehatan adalah program jaminan sosial di bidang kesehatan. Menggabungkan dua hal yang tidak berkaitan ini sebagai satu kesatuan persyaratan justru menambah beban administratif bagi masyarakat.
Harusnya, ada toleransi dan fleksibilitas dari instansi terkait agar masyarakat tetap bisa mengurus SKCK meski belum terdaftar sebagai peserta aktif BPJS. Sebab, tidak semua orang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk menanggung iuran BPJS, apalagi jika belum memiliki pekerjaan tetap.
Kebijakan tersebut merupakan bentuk kolaborasi antara BPJS Kesehatan dan Kepolisian RI, sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Aturan teknisnya kemudian diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penerbitan SKCK, yang mulai diberlakukan secara nasional sejak 1 Agustus 2024.
Tujuan utama dari kebijakan ini sebenarnya adalah mendorong masyarakat agar memiliki jaminan kesehatan. Namun dalam praktiknya, penerapan syarat BPJS aktif dalam pengurusan SKCK justru menimbulkan efek domino yang merugikan.
Banyak masyarakat yang membuat SKCK sebagai syarat melamar pekerjaan. Artinya, mereka sedang dalam posisi mencari nafkah dan belum memiliki penghasilan tetap. Ketika proses pembuatan SKCK dipersulit dengan kewajiban memiliki BPJS aktif, maka beban ekonomi masyarakat semakin berat.
Ironisnya, setelah memiliki SKCK, belum tentu mereka langsung diterima bekerja. Namun, mereka sudah terlanjur mendaftar BPJS dan harus membayar iuran bulanan untuk seluruh anggota keluarga. Kondisi ini jelas tidak berpihak kepada masyarakat kecil, yang justru sedang berjuang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan.
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, khususnya pada Pasal 34, pelaksana pelayanan publik wajib bertindak secara seimbang, proporsional, profesional, dan humanis. Artinya, pelayanan publik tidak boleh kaku hanya berpegang pada aturan tertulis, tetapi juga harus memperhatikan kondisi sosial masyarakat.
Pelayanan publik sejatinya adalah untuk memberikan kemudahan dan kebahagiaan bagi masyarakat, bukan sebaliknya. Jika aturan justru membuat masyarakat semakin kesulitan, maka esensi dari pelayanan publik itu sendiri telah kehilangan makna.
Kebijakan mewajibkan BPJS Kesehatan aktif sebagai syarat pembuatan SKCK memang dilandasi niat baik untuk mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional. Namun, niat baik tidak selalu menghasilkan kebijakan yang baik apabila tidak disertai dengan pertimbangan sosial dan ekonomi masyarakat.
Masyarakat sudah cukup sulit dengan kondisi ekonomi yang tidak menentu. Maka dari itu, janganlah aturan dan kebijakan publik justru menambah kesulitan mereka. Pemerintah dan instansi terkait seharusnya mencari jalan tengah yang lebih manusiawi, agar tujuan hukum dan pelayanan publik — yaitu kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat — benar-benar dapat terwujud.